Kaderisasi KOPRI
KADERISASI KOPRI
Klaim
tentang kesadaran gender pada PMII membangun argumentasi bahwa pembubaran KOPRI
merupakan suatu keharusan. Karena KOPRI hanya mengakibatkan eksklusifitas
perempuan di PMII. Organisasi perempuan sebagai subordinat dari organisasi lain
dianggap memberi legitimasi terhadap streotyp perempuan sebagai makhluk
subordinat dan kontra produktif terhadap gerakan perempuan untuk penyadaran,
kesetaraan, pemberdayaan akses dan advokasi perempuan.
Cabang-cabang
KOPRI yang membuat keputusan untuk meleburkan diri dengan PMII bereksperimen
untuk berkompetisi dengan warga PMII lainnya dengan mengandalkan seleksi alam.
Kader KOPRI dilanda syndrome inferior untuk menamakan diri sebagai bagian dari
KOPRI. Mereka lebih nyaman menjadi PMII atau menjadi bagian dari wadah lain
(asal bukan KOPRI). Disisi lain adalah fenomena kemandegan KOPRI, dimana eksis
secara struktur tapi tidak melakukan apa-apa dan beberapa cabang KOPRI yang
merasa tidak terganggu dan enjoy menjadi bagian dari PMII dengan alasan adanya
sinergitas antara PMII dan KOPRI.
Tidak
dipungkiri bahwa pembubaran KOPRI pada Kongres XIII di Medan tahun 2000
merupakan salah satu pengaruh dari euforia gerakan kesadaran gender. Selama ini
kita merasakan tampak kesenjangan-kesenjangan, tidak hanya antara kader
laki-laki dan perempuan, tetapi juga antar daerah. Memang terdapat beberapa
eksperimentasi yang dilakukan oleh sebagian kecil daerah (Jawa Tengah dan Jawa
Timur) dengan menafsirkannya dalam bentuk jaringan gender sementara daerah lain
menjadi tampak kesulitan. Hal ini karena pembubaran KOPRI tidak dibarengi
dengan usaha institusionalisasi yang serius ke arah penataan kelembagaan.
Sehingga secara institusional yang terjadi bukan memperteguh pemberdayaan kader
putri, tetapi meluluh lantakannya kembali ke titik nol. Maka bukan hal yang
mustahil manakala ditengah lemahnya mobilitas sosial dan aktualisasi diri akder
putri yang secara sosiologis berlatar rural (pedesaan) ada kecurigaan bahwa
pembubaran KOPRI adalah “Patriakhal Conspiration”. Ibarat perang, kader putri
yang memang “dilemahkan berangkat ke medan konstentasi”. Mengambil pilihan
liberal atau kontestasi bebas ditengah kader yang tidak seimbang oleh kondisi
sosial yang timpang/serbalaki-laki memang terlihat naif karena dengan begitu
akan menimpakan masalah ketimpangan pada perempuan yang sesungguhnya juga
adalah korban (Blamming the Victim).
Untuk
menunjukkan bahwa PMII adalah organisasi pro-demokrasi dan HAM sehingga tidak
memandang laki-laki dan perempuan secara dikotomis. Akan tetapi argumentasi kesadaran
gender di PMII terjadi bersamaan dengan fenomena-fenomena sebagai berikut:
pertama, marginalisasi perempuan di kepengurusan PMII di setiap level
kepengurusan. Kedua, munculnya krisis kader perempuan dalam PMII yaitu
terjadinya gap antara jumlah anggota perempuan yang aktif dengan jumlah anggota
yang pasif. Pada saat dilakukan MAPABA di PMII biasanya separoh atau lebih
merupakan kader perempuan. Mayoritas dari mereka hanya sempat mengikuti MAPABA,
dan setelah itu seleksi alam akan menentukan apakah seorang kader perempuan
akan bertahan atau tidak. Ketiga adalah kader putri yang melakukan pembaharuan
melalui KOPRI terutama di PB KOPRI dan cabang-cabang PMII yang masih
mempertahankan KOPRI. Aktifitas KOPRI melihat bahwa di tubuh PMII kesadaran
gender terjadi bersamaan dengan ketimpangan gender yang tercermin dari
ketidakjelasan kebijakan PMII terhadap kader perempuan yang jumlahnya melebihi
50% dari kader PMII seluruhnya. Hal ini disebabkan karena PMII merupakan
organisasi secara idealitas tidak membedakan kader laki-laki maupun perempuan.
Akan tetapi ditingkat realitas menunjukkan perbedaan peran laki-laki dan
perempuan. Dengan kata lain kader perempuan PMII tidak memiliki landasan
konstitusional yang jelas dalam memperjuangkan aspirasi perempuan.48 Berdasarkan
forum musyawarah yang diamanatkan oleh Kongres XIV di Kutai Kertanegara
Kalimantan Timur untuk membuat pertemuan POKJA Perempuan PMII pada tanggal
26-29 September 2003 yang menghasilkan ketetapan bahwa dibentuk kembali
keorganisasian wadah perempuan yang bernama KOPRI (Korps PMII Putri) yang
merupakan bagian integral dengan PMII di Jakarta pada tanggal 29 September 2003
dimana PB KOPRI berpusat di Jakarta. Dengan visi terciptanya masyarakat yang
berkeadilan berlandaskan kesetaraan dan menjunjung tinggi nilai-nilai
kemanusiaan, sedangkan misinya adalah mengidiologisasikan gender dan
mengkonsolidasikan gerakan perempuan di PMII untuk membangun masyarakat
berkeadilan gender.49 Ketika PMII berusaha untuk memaksimalkan kader-kader
perempuan PMII untuk mampu bersaing dan mandiri dengan membentuk badan semi
otonom yaitu KOPRI, tetapi keberadaannya tidak dapat dirasakan oleh kader-kader
PMII secara keseluruhan baik itu laki-laki maupun perempuan apalagi masyarakat
yang lebih luas, keberadaan KOPRI seperti “Hidup segan mati tak mau”.
Masing-masing daerah belum terkonsentrat dalam hal sistem kaderisasi KOPRI
karena minimnya pemahaman mengenai KOPRI itu sendiri, padahal pada masa
kepemimpinan Sahabati Khofifah sudah dibentuk Latihan Kader KOPRI (LKK) dan
Latihan Pelatih Kader KOPRI (LPKK), namun seiring berjalannya waktu,
masing-masing daerah membentuk sistem kaderisasi KOPRI sendiri dengan mengikuti
perkembangan waktu dan pemahaman dari setiap kader di daerah, seperti di KOPRI
PKC Jawa Barat membentuk sistem kaderisasi KOPRI yang dikenal dengan SKK
(Sekolah Kader KOPRI) I, SKK II, dan SKK III mengikuti jenjang pendidikan
formal di PMII. Kemudian KOPRI PC Kota Malang membentuk sistem kaderisasi KOPRI
yang dikenal dengan SKP (Sekolah Kader Putri) I, SKP II dan SKK begitupun KOPRI
PC. Kota Malang mengikuti jenjang pendidikan formal di PMII.
Komentar
Posting Komentar